Rabu, 28 Januari 2015

Sejarah Kebidanan

Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi tinggi saat pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, dikarenakan pertolongan persalinan ditolong oleh dukun yang belum mendapatkan pengetahuan dan pelatihan pertolongan persalinan bersih dan aman. Pada tahun 1807, Gubernur Jendral Hendrik William Deandels melatih para dukun dalam pertolongan persalinan. Tetapi tidak berlangsung lama karena tidak ada pelatihan kebidanan. Tetapi pada saat itu pelayanan kesehatan hanya diberikan kepada orang-orang Belanda yang berada di Indonesia.


Tahun 1849, dibukalah sekolah kedokteran, Pendidikan Dokter Jawa di Batavia (yang sekarang menjadi RSAD Gatot Soebroto). Dan pada tahun 1851 dibuka pendidikan Bidan bagi wanita pribumi di Batavia oleh dokter militer Belanda (Dr. W Bosch), yang lulusannya bekerja di RS dan masyarakat. Dan dari saat itu pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan.

Tahun 1952, diadakan pelatihan secara formal untuk Bidan agar dapat meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Dilanjutkan dengan diadakannya kursus tambahan bidan (KTB) di Yogyakarta tahun 1953, lalu berdirilah BKIA yang memiliki kegiatan antara lain, pelayanan antenatal, post natal, pemeriksaan bayi dan anak termasuk imunisasi dan penyuluhan tentang gizi. Dan tahun 1957, BKIA berubah menjadi Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat). Puskesmas memiliki kegiatan pelayanan kesehatan untuk masyarakat tidak hanya di dalam gedung melainkan di luar gedung.

Tahun 1990, pelayanan kebidanan mulai merata dan dekat dengan masyarakat. Presiden memberikan instruksi pada tahun 1992 secara lisan pada sidang kabinet tentang perlunya mendidik bidan untuk penempatannya di Desa (Bidan Desa). Dengan tugas yaitu pelaksanaan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) diantaranya, Bumil, Bulin, Bufas, dan Bayi baru lahir; termasuk bidan juga melakukan pembinaan dukun bayi (yang sekarang dikenal dengan bermitra dengan dukun), serta memberikan pelayanan KB.

Dalam Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo, tahun 1994 membahas perluasan area garapan bidan yaitu Safe Motherhood termasuk bayi baru lahir dan perawatan post abortus, Family Planning, PMS termasuk infeksi saluran alat reproduksi, Kespro Remaja dan Kespro Orang tua.

Dalam wewenangnya adapun peraturan-peraturan yang mengatur tentang Bidan:
  1. Permenkes no. 900/menkes/SK/VI/2002 ttg Registrasi dan Praktik bidan
  2. Kepmenkes no. 369/menkes/SK/III/2007 ttg Standar Profesi Bidan

Perkembangan Pendidikan Bidan di Indonesia:

1851, dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnya peserta didik.
 
1902, dibuka kembali di Batavia.

1904, dibuka pendidikan bidan di Makassar. Kedua lulusan tsb hrs mau ditempatkan dimana saja, dg tunjangan dari pemerintah Belanda 15 – 25 Gulden per bulan, naik jadi 40 Gulden per bulan pd thn 1922.

1911/1912, dimulai pendidikan tenaga keperawatan di CBZ (RSUP) Semarang & Batavia. Calon diterima dari HIS (SD 7 thn), lama pendidikan 4 tahun,peserta didik adalah pria.

1914, diterima peserta didik wanita,& jika lulus dpt melanjutkan ke pendidikan kebidanan selama 2 thn.

1935 – 1938, pemerintah kolonial Belanda mendidik bidan lulusan Mulo (SLTP bagian B). Bersamaan jg dibuka dikota besar lainnya : Jakarta (RSB Budi Kemuliaan), RSB Palang Dua, RSB Mardi Waluyo Semarang. Bidan lulusan Mulo disebut Bidan kelas satu; Bidan lulusan perawat disebut Bidan kelas dua.

1950 – 1953, dibuka sekolah bidan dari lulusan SP, dg batas usia min 17 thn, lama pendidikan 3 tahun. Dibuka juga Penjenang Kesehatan E atau pembantu bidan. PK-E adalah lulusan SMP + 2 tahun kebidanan dasar. Ditutup tahun 1976

1953, dibuka KTB di Jogyakarta, lama kursus 7 – 12 minggu,

1960, KTB dipindah ke Jakarta

1967, KTB ditutup

1954, dibuka pendidikan guru bidan, lama pendidikan mulanya 1 thn, lalu 2 thn kemudian 3 tahun.

1972, insitusi ini dilebur jadi SGP (sekolah guru peerawat)

1970, dibuka Program pendidikan bidan dari SPR + 2 thn, disebut Sekolah Penddikan lanjutan Jurusan kebidanan (SPLJK).

1974, penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan non sarjana. Sekolah bidan ditutup, dan dibuka SPK, tapi tidak berhasil.

1975 – 1984, institusi pendidikan bidan ditutup, selama 10 thn tdk menghasilkan bidan, namun IBI masih hidup.

1981, dibuka pendidikan diploma I kesehatan ibu & anak, hanya berlangsung 1 tahun.

1985, dibuka PPB, dari lulusan SPR & SPK, lamanya 1 thn, khusus institusi ttt yg mengirimnya.

1989, dibuka crash program pendidikan bidan A (PPB A) secara nasional, status PNS gol II, ditempatkan di desa. Mulai 1996 mjd Bidan PTT, kontrak 3 thn, boleh perpanjang 2 – 3 thn

1993, dibuka PPB B, lulusan Akper, lamanya 1 thn, sbg tenaga pengajar pada PPB A, hanya 2 angkatan.

1993, dibuka juga PPB C, lulusan SMP, lama pendidikan 6 semester, di 11 propinsi : Aceh, bengkulu, Lampung, Riau, Kalbar, Kaltim, Kalsel, Sulsel, NTT, Maluku, Irian Jaya.

1994-1995, pendidikan bidan jarak jauh (distance learning), di Jabar, Jateng, Jatim, 22 modul, koordinator Pusdiklat.

1996, pelatihan LSS (life saving skill), koordinator direktorat kesehatan keluarga ditjen binkesmas

1996, ACNM mengadakan training of trainer u/ pelatih LSS.

1995-1998, IBI bekerjasama dg mother care melakukan pelatihan dan peer review bagi bidan RS, PKM dan bides di prop kalsel.

1996, dibuka AKBID

2000, dibuka program Diploma IV kebidanan

2000, ada tim pelatih APN,koordinator MNH

2000,dibuka Prog DIV kebid di UGM, 2 smt

2002, DIV kebid Unpad

2004, DIV kebid di USU

2003, D IV kebid di Stikes NWU Semarang

2003, DIV Kebid di STIKIM Jakarta

2004, S1 kebid di Unair

2006, S2 Kebidanan di Unpad
 
sumber: http://adf.ly/wnxGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar